Duduk termenung di tengah rumah, memandangi lapiak[1] nan telah terkembang, permadani Persia, kata sang anak. Dikirim sebelum hari raya tiba dari rantau. Kue hari raya telah tersaji, kebanyakan merupakan kue nan dibeli oleh anak-anaknya. Maklumlah mereka semua sibuk bekerja, jadi tak sempat membuat kue dari tangan sendiri. Berlainan dahulu tatkala ia masih gadis, menjelang hari raya telah ramai saling pinjam-meminjami cetakan kue, membeli tepung ataupun menumbuk beras untuk jadi tepung, membeli telur ayam, dan kelengkapan lainnya.
Rumah Gadangnya telah lama dirobohkan, sudah tak sanggup lagi menopang isi rumah. Diganti dengan rumah dari batu layaknya dibuat orang sekarang. Salah seorang anaknya sempat mengusulkan agar diberi atap genteng serupa nan lazim didapatinya di rantau nan bertuah itu. Namun ia menolak “Atap seng lagi bagus..” pintanya lemah.
Rumahnya bagus, masing-masing bilik memiliki kamar mandi didalamnya, termasuk di bilik nan ditempatinya. Jadi tak usah cemas apabila malam-malam hendak ke jamban atau mengambil wudhu. Dapurnyapun bagus, bersih, dan mengkilap. Tak lagi memakai kayu sebagai bahan bakar karena kini zamannya gas. Lantainya keramik kualitas tinggi, dikirim dari rantau oleh anaknya, namun apabila malam dingin keramik membuat tulang kakinya ngilu. Maka dipakailah terompah dalam rumah, seumur-umur belum pernah ia memakai terompah dalam rumah. Baca lebih lanjut