Tag

, , , , , , , , ,

Beberapa waktu nan lalu kami membaca sebuah postingan di salah satu media sosial. Tuan tentu sudah dapat menerka postingan tentang apa nan kami baca. Masa ini, media sosial jauh lebih dipercaya dibandingkan media mainstream lainnya. Karena di sini, segala informasi yang diterima dapat dilakukan pengecekan kembali. Berlainan dengan media mainstream yang berat sebelah, karena dimiliki oleh para kapitalis.

Postingan nan kami baca ialah sebuah kritikan terhadap pernyataan salah satu calon – yang walaupun calon namun masih menjabat, itulah lucunya negeri ini – pemimpin negeri ini. Kami suka dengan postingannya namun terkejut dengan nama akunnya. Nama yang aneh, karena ada kata “kafir” pada akunnya.

Karena penasaran akhirnya kami selidiki, rupanya ia merupakan seorang aktifis perkulian di republik ini. Telah banyak kerjanya dalam memperjuangkan nasib para kuli. Dan pada keterangan dirinya, ia menyebutkan kalau ia merupakan seseorang nan tak beragama atau ARELIGI.

Kami terkejut dengan istilah baru tersebut, namun segera geleng-geleng kepala “Bukankah itu sama dengan ATHEIS..?” ujar kami dalam hati.

Kami tersenyum maklum, zaman sekarang kata ATHEIS sudah menjadi kata yang dihindarkan untuk disebutkan dalam perbendaharaan kata. Sebab Atheis sering disamakan dengan Komunis walau itu berbeda dan walau kebanyakan para Komunis ialah Atheis. Namun di negara Barat, para Atheis ini kebanyakan ialah orang-orang Liberal dan Sekuler.

Berhati-hatilah dengan para Atheis, Komunis, dan orang yang mengaku Sosialis. Walau kami akui Sosialis tidak sama dengan Komunis dan pada tahun 1958, Partai Sosialis Indonesia pimpinan Bung Syahrir ikut bergabung bersama kita di Sumatera Tengah. Namun pada masa akhir Orde Baru dan awal Reformasi, mereka acap berklamuflase dengan mengatakan “Saya bukan seorang Komunis, tapi saya seorang Sosialis..”

Dan salah seorang orang kampung kita, tengah mengamat-ngamati dari seberang lautan sana. Ia sedang hidup nyaman bersama keluarganya di Negeri Belanda. Seorang akademisi, terdidik, dan aktivis yang tak pernah padam kebenciannya atas perlakuan yang diterima oleh orang tuanya dimasa tumbangnya kekuasaan Komunis di Indonesia.