Tag

, , , , , ,

Alm. H. Abdul Gani alias H. Sumbu tahun 70-an. Beliau adalah salah seorang anak Tuanku H. Khatib. Beliau adalah salah seorang pelaku sejarah pada peristiwa “Perang Tahun 1908”, yaitu perang tanggal 1 Januari 1908 melawan kolonialis Belanda di Sawahlunto. Beliau dimakamkan di Pemakam Umum Tampan, Pekanbaru

Perang Tahun 1908 di Sawahlunto

         Bertahun-tahun lamanya terjadi gejolak di masyarakat Nagari Kubang [sekarang berada dalam wilayah administratif Kota Sawah Lunto] akibat ketidak puasan mereka terhadap perlakuan Pemerintahan Kolonial Belanda atas tanah ulayat mereka di Sawahlunto. Tiba-tiba ada pula kebijakan belasting (pajak) yang sangat mencekik serta penerapan kerja rodi buat masyarakat adat Nagari Kubang. Akibat akumulasi semua itu, timbul kemarahan yang sangat luar biasa di masyarakat adat Nagari Kubang. Pemerintah Kolonial juga murka karena kebijakan-kebijakan mereka tak berjalan di Nagari Kubang. Mereka menduga ada sebuah kekuatan yang menggerakkan perlawanan masyarakat itu. Pada akhir tahun 1907 Pemerintah Kolonial Belanda telah mencium adanya “gerakan bawah tanah” yang sedang dilakukan oleh masyarakat dalam menentang kebijakannya. Sejak itu serdadu Belanda mulai secara intens melakukan patroli sampai ke pelosok-pelosok Nagari Kubang. Akhirnya pada akhir 1907 itu, Tuanku H. Khatib di tawan Belanda. Beliau ditangkap karena ketahuan membawa senjata tajam di Sawah Kociak, [Kociak=Kaciak=Kecil] Polak Datar, Kenagarian Kubang. Padahal waktu itu beliau baru pulang dari ladang. Sejak itu situasi di Nagari Kubang semakin memanas.
         Tuanku H. Khatib (1838-1915) adalah seorang ulama dan seorang pemimpin spiritual terpandang dari Nagari Kubang. Tuanku H. Khatib mempunyai nama asli yaitu “H. Agah”. Gelar Tuanku H. Khatib diberikan oleh masyarakat Kubang sejak beliau di tunjuk menjadi “khatib Nagari”. Waktu H. Agah atau Tuanku H. Khatib masih muda, beliau dikirim oleh ayahnya mendalamin ilmu agama kepada seorang ulama terpandang di Padang Gantiang, [Luhak] Tanah Data. Disana beliau mendalami ilmu agama sampai berkeputusan (tamat), sehingga beliau dianugerahi pula gelar kehormatan oleh gurunya yaitu “Tuanku Nan Sholihah”. Karena keilmuan beliau di bidang Agama akhirnya beliau tumbuh menjadi seorang ulama terpandang dari bagari Kubang.
          Agah lahir di Nagari Kubang (1838), dari seorang ibu bernama Sa’arah bersuku Dalimo Gadang. Sementara ayah beliau bernama Abdul Madjid berasal dari suku Supanjang, dari Kaum Taratak Lawuik, Nagari Kubang. Abdul Madjid dikenal juga dengan gelar Tuanku Dirawang, karena beliau adalah pewaris “Sawah Rawang” yang berlokasi di Pasar Remaja hingga ke Pasar Sawahlunto kini. Abdul Madjid atau Tuanku Dirawang adalah Lareh (Laras) pertama di Kelarasan Silungkang. Kelarasan Silungkang terdiri dari tiga nagari yaitu Nagari Kubang, Nagari Lunto dan Nagari Silungkang. Abdul Madjid tidak lama menjabat menjadi Laras. Beliau kemudian mengundurkan diri karena beliau tidak bisa baca tulis huruf latin. Tetapi alasan itu berkemungkinan hanyalah salah satu alasan saja dari banyak alasan yang lain. Sebab kelarasan seperti itu tak ada di dalam struktur adat di Minangkabau. Kelarasan itu adalah bentukan pemerintah kolonial sebagai perpanjangan tangan mereka dalam menancapkan kukunya di daerah kekuasaannya. Salah satu tugas pejabat di kelarasan adalah mengkoordinir penarikan belasting (pajak) dari masyarakat. Kemudian jabatan Laras Kelarasan Silingkang beliau serahkan kepada Djaar Sutan Pamuncak.
          Rencana Perlawanan terhadap kolonial Belanda yang sudah lama dirancang itu, akhirnya dipercepat dari rencana semula karena Tuanku H. Khatib sudah di tawan Belanda. Perlawanan itu akhirnya dipimpin oleh seorang kerabat Tuanku H. Khatib dari Nagari Lunto bernama Tuanku Tempa. Tuanku Tempa adalah seorang ulama terpandang dan tokoh spiritual yang sangat disegani dari Nagari Lunto. Beliau mempunyai banyak murid yang tersebar di berbagai nagari, sebagian murid-muridnya berasal dari Nagari Kubang.
          Perang yang terkenal dengan Porang Tahun Salapan (Perang Tahun 1908) terjadi saat malam pergantian tahun, tanggal 1 Januari 1908. Hari pergantian tahun ini dipilih karena biasanya serdadu-serdadu Belanda mengadakan pesta dan mabuk-mabukan.
          Sebelum penyerangan itu dilakukan, semua pejuang terlebih dahulu berkumpul di Mesjid Usang Mudik Air pukul 00.30. Kemudian semua pejuang melakukan Shalat malam. Setelah itu, Tuanku Tempa selaku Panglima Perang kembali mengingatkan para pejuang bahwa, barang siapa yang ragu-ragu dipersilahkan untuk mengundurkan diri. Tetapi dengan tekad yang bulat tak seorangpun yang mundur. Mereka menganggap perang ini adalah jihad dalam menegakkan kebenaran. Lalu Tuanku Tempa menjabarkan strategi perangnya malam itu. Setelah itu para pejuang yang bersenjatakan rudui (pedang) itu melakukan doa bersama.
Pukul 01.30 semua sudah diposisi masing-masing. Langkah pertama adalah mematikan lampu-lampu jalanan. Kemudian Tuanku Tempa memberi Komando untuk serentak menyerang Tangsi Tuan Skaut, tempat dimana Tuanku H. Khatib  di tawan. Disini para pejuang memancung habis semua serdadu Belanda yang menjaganya. Yang memancung serdadu Belanda pertama kali adalah Tuanku Tempa sendiri, kemudian Abdul Gani, Adam Rangkayo Batuah, dan akhirnya terjadilah peperangan yang sangat dahsyat malam itu. Setelah Tangsi Tuan Skaut dikuasai, namun ternyata Tuanku H. Khatib tak ditemukan disana.
          Kemudian datang bantuan dari serdadu Belanda menuju Tangsi Tuan Skaut. Segera pula disambut oleh pendekar-pendekar sakti yang semua ahli dalam beladiri silat itu. Hanya berbekal rudui (pedang) serdadu-serdadu Belanda itu dikejar dan dihabisi. Pertempuran meluas sampai ke Sungai Batang Lunto dan Pasar Usang.
          Setelah beberapa jam pertempuran, beberapa pejuang terluka dan tewas di tempat. Tuanku Tempa memerintahkan Sebagian melanjutkan pertempuran dan sebagian menyelamatkan yang terluka dan tewas. Sampailah pertempuran itu mendekati subuh, setelah itu semua pejuang menghilang dalam kegelapan malam. Target membebaskan Tuanku H.Khatib pun gagal. Para pejuang menyingkir ke surau-surau dan sebagian ke Mesjid Raya Kubang (Baitunnur). Empat orang pejuang meninggal dalam pertempuran itu, dan dimakamkan di beberapa tempat di Nagari Kubang. Keempat orang pejuang yang gugur itu adalah: Hasan Husin, Suku Sikumbang, kaum Rumah Tapanggang, Kenagarian Kubang, dimakamkan di Kubang Tungkai Jorong VII Kenagarian Kubang; Asi Bagindo Bungsu, Suku Piliang, kenagarian Lunto, dimakamkan di Panto Jorong VIII Sikabu, kenagarian Kubang; Baki, Suku Payabadar [mungkin; Payobada] kaum Malaweh, dimakamkan di Panto, Jorong VIII, Sikabu Kenagarian Kubang; dan Boga Matlahi, Suku Sikumbang kaum Rumah Tapanggang, dimakamkan di Rumah Tapanggang, Jorong I, Kenagarian Kubang.
          Pagi itu di Sawahlunto, mayat-mayat serdadu Belanda bergelimpangan di mana-mana, kemudian Belanda melakukan Blokade di sekeliling kota. Beberapa hari kemudian perang urat syaraf pun dimulai. Belanda menyisir sampai ke pelosok-pelosok Kampung di Kubang dan Lunto, kemudian menangkap setiap laki-laki yang mereka temui (Tuanku Tempa selalu lolos dalam penyergapan yang dilakukan serdadu-serdadu Belanda itu). Puluhan masyarakat yang tak bersalah mereka penjarakan. Sementara di penjara yang lain Tuanku H. Khatib terus bungkam walau selalu disodorkan dokumen perdamaian tapi beliau tak mau menandatanganinya.
         Diantara puluhan rakyat yang ditangkap, tujuh orang diantaranya adalah pejuang yang melakukan penyerangan di malam itu. Mereka adalah : Abdul Gani, Suku sikumbang, kaum Rumahtapanggang, kenagarian Kubang; Muin Bagindo Tan Ameh, Suku Sikumbang, kaum Rumah Tapanggang, kenagarian Kubang; Adam Rangkayo Batuah, Suku Supanjang, kaum Taratak Lawuik, kenagarian Kubang; Manjalani Malano Sati, Suku Panai, kenagarian Kubang; Rasul Khatib Marajo, suku Patopang, kaum Polak, kenagarian Kubang; Taha Dubalang, kenagarian Lunto.
          Sembilan bulan dipenjarakan dan terus-menerus disodorkan sebuah dokumen tapi Tuanku H. Khatib tak mau menandatangani dokumen itu karena takut terjebak oleh tipu muslihat pemerintah kolonial yang terkenal licik itu. Dibulan kesepuluh penahananya, beliau tak kuat lagi melihat penangkapan rakyat yang terus menerus dilakukan dengan semena-mena. Akhirnya dengan segala kelicikan Belanda, dokumen yang katanya “dokumen perdamaian” yang berbahasa Belanda itu pun akhirnya di tandatangani oleh Tuanku H. Khatib. Setelah itu beliau pun dilepas dari Tangsi Tuan Skaut. Begitu pula puluhan rakyat yang ditahan, baik di penjara Sawahlunto maupun penjara Padang, semua di bebaskan. Beberapa waktu kemudian, Belanda melaksanakan upacara adat “membantai kerbau” di Balai Kubang sebagai bentuk “perdamaian”. Para petinggi Belanda pun hadir di Balai Kubang waktu itu, antara lain : Asisten Residen Tanah Datar (C. Westenenck); Pejabat dari Landraad Tanah Datar (namanya tak diketahui); Adjunck Commisarist van Politie (Tuan Skaut); Laras dari Kelarasan Silungkang (Djaar Sutan Pamuncak); Kepala Nagari Kubang (Ja’far Dt. Rajo Batuah); dan Satu Regu Pasukan Kolonial.
       Pejabat Landraad Tanah Datar ( tidak diketahui namanya) pada upacara itu mengawalinya dengan berdiri lalu membacakan sebuah “Naskah Perdamaian”, yang telah dipersiapkan Sebelumnya, yakni naskah perdamaian yang ditandatangani oleh Tuanku H.Khatib sewaktu beliau berada di tahanan Tangsi Tuan Skaut. Setelah Pejabat Landraad itu selesai, lalu kemudian berdiri pula Assisten Residen Tanah Datar C.Westenenck untuk mengumumkan secara resmi korban pertempuran malam 1 Januari 1908 antara lain adalah, korban dari pihak Belanda sebanyak 84 orang, sementara korban dari pihak masyarakat adat nagari Kubang adalah empat orang.
          Peristiwa “Porang Tahun Salapan” ini dulu selalu diceritaka secara turun-temurun dari generasi Ke generasi. Dengan budaya “bertutur” masyarakat adat nagari Kubang. Budaya bertutur atau “sejarah lisan” masyarakat adat nagari Kubang khususnya, Minangkabau umumnya adalah sebuah “kearifan lokal” yang mestinya di hargai. Kemudian baru pada tahun 1979, peritiwa ini dikupas tuntas dalam sebuah buku karya Abu Salfani berjudul ” Perjuangan dan Perlawanan Rakyat Kenagarian Kubang dan Lunto Terhadap Kolonial Belanda di Sawahlunto Tahun 1908″. Buku ini diberi kata sambutan oleh Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sawahlunto, Drs. Saimoery WS tanggal 27 Januari 1979. Tapi entah kenapa buku ini tak jadi dicetak, namun tetap beredar di nagari Kubang. Dan dulu kopiannya pernah tersedia di perpustakaan pemerintah di Kota Sawahlunto. Namun belakangan kopiannya raib dari perpustakaan tersebut.
           Sebetulnya peristiwa “Porang Tahun Salapan” sangat mengejutkan dan menghebohkan kaum adat dan masyarakat di Sumatra Barat waktu itu. Sementara dari kalangan kolonial Belanda, peristiwa ini adalah peritiwa pembantaian yang sangat mengerikan bagi pemerintahan kolonial waktu itu.  Ini mengingat banyaknya serdadu Belanda yang tewas (84 orang) dalam hanya hitungan jam (lebih kurang  durasi dua setengah jam). Tapi entah mengapa semua bukti itu hilang di Pemerintahan Kolonial dan  masa-masa berikutnya. Sementara dimasyarakat adat sebelum tahun 1979, ini hanya ada di sejarah lisannya. Setelah dekade 1979 dimana peristiwa ini sudah dibukukan oleh Abu Salfani, buku ini tidak menarik bagi penguasa.  Pada hal peritiwa ini lebih dulu terjadi dari pada perang belasting yang lain di Sumatra Barat. Seperti perang Manggopoh terjadi pada bulan Juli 1908. Perang Manggopoh begitu dihormati oleh masyarakat dan Pemda Kabupaten Agam.
          Lebih menarik lagi adalah tokoh dan pejuang perang tahun 1908, tidak dibuang atau di asingkan oleh Belanda, seperti diperistiwa-peristiwa yang sama lainnya. Malahan justru pihak Belandalah yang minta perdamaian, dan pihak rakyat Nagari Kubang yang tak mau berdamai dengan mereka. Sebuah fenomena yang tak pernah terjadi pada sejarah perlawanan rakyat indonesia terhadap penjajahan kolonial di indonesia.  Semua ini diduga adalah karena kepentingan yang lebih besar dari pihak Belanda akan arti pentingnya batubara yang berada di perut bumi ulayat masyarakat adat nagari Kubang. Perdamaian yang justru dipaksakan oleh Belanda terhadap masyarakat adat Nagari Kubang dan sebaliknya masyarakat adat yang tak mau berdamai karena khawatir terhadap tipu muslihat belanda  terhadap tanah ulayat mereka semakin mengukuhkan sebuah hipotesa, bahwa telah terjadi masalah besar atas pemakaian tanah ulayat Masyarakat adat oleh pemerintah kolonial untuk pertambangan batu bara di kota Sawahlunto. Permintaan perdamaian dari pemerintahan kolonial terhadap Nagari Kubang adalah bukti pengakuan adanya kekeliruan atau kebingungan Belanda dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat itu.
           Bukti adanya “perdamaian” dengan Belanda terhadap “perang tahun1908” nyata adanya di Nagari Kubang. Baik buku yang ditulis oleh Abu Salfani tentang pelaku-pelaku sejarah dari nagari Kubang dan Lunto dalam perang tahun1908, maupun bukti-bukti peninggalan fisik tentang perdamaian perang tahun 1908 berupa kompensasi (mungkin semacam CSR di zaman kolonial) yang diberikan kepada masyarakat Kubang berupa : Didirikannya sekolah “Van Folognese School” di Balai Kubang (3 kelas); Dibangunnya balai adat di Balai Kubang; Dan dibangunnya beberapa jembatan di sungai Batang Lunto dan di beberapa anak sungai. Di nagari Lunto perjuangan Tuanku Temapa ini juga di abadikan dengan sebuah “relief dan patung” oleh masyarakat nagari Lunto.
          Tetapi sebuah “prinsip” dari  masyarakat Adat nagari Kubang, sesuai dengan adat yang berlaku di nagari Kubang dan di Minangkabau, bahwa semua bentuk kompensasi yang diberikan Belanda itu, baik uang 2000 gulden yang diberikan buat “niniak mamak” dan buat “persta adat” tahun 1892 maupun konpersasi dari perdamaian “Perang Tahun 1908” yang diberikan sekitar tahun 1910, bukanlah merupakan “pelepasan hak” atas ulayatnya di pertambangan itu.
         Bukanlah penjajah namanya jika Belanda tak berbuat semena-mena. Setelah “perdamaian perang 1908” penjajah Belanda tetap saja berbuat semena-mena lagi atas ulayat masyarakat adat nagari Kubang. Perusahaan tambang itu menambah lagi pemakaian tanah ulayat nagari kubang , dengan membangun berbagai fasilitas tambang sesuka hati mereka di atas tanah Ulayat itu. Tetapi kembali berkali-kali masyarakat protes dan situasi selalu memanas dengan masyarakat adat nagari Kubang. Menurut Erwiza Erman dalam bukunya, “Membaranya Batubara, Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin Sawahlunto-Sumatra Barat (1892-1996) menulis bahwa konflik antara masyarakat adat nagari Kubang dengan perusahaan tambang Ombilin tak pernah usai dan selalu memanas samapai berakhirnya penjajahan Belanda. Ia menulis, “Pembayaran ganti rugi untuk tanah hanya dua kali, dan pembayaran hak atau biaya sewa tahunan jarang di lakukan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa masalah ganti rugi makin lama makin meruncing sampai akhir rezim kolonial. Pada tahun-tahun 1924, 1929,1931,2934, 1939 dan 1940 baik penduduk kampung maupun penghulu nagari mengajukan protes terhadap pemerintah jajahan mengenai perbatasan-perbatasan yang tidak jelas antara tanah perusahaan dengan tanah nagari dan menuntut ganti rugi atas tanah yang digunakan. Protes itu berasal dari klaim perusahaan atas tanah yang sesungguhnya akan digunakan orang-orang kampung pembuat ‘kebun nagari’ “.
          “Dua kali ganti rugi” yang dimaksud Erwiza Erman adalah uang yang tidak jelas maksud nya apa, yang diberikan Belanda buat niniak mamak yang nilainya tak seberapa, yaitu senilai 1500 gulden. Dan yang kedua adalah uang senilai 500 gulden buat pesta adat itu, yaitu buat meredam kemarahan masyarakat. Niniak mamak nagari Kubang menganggap uang yg cuma hanya 1500 gulden itu hanya semacam ganti rugi tanaman yang ada di atas tanah itu, atau uang siliah jariah.
           Kemudian dalam cuplikan diatas Erwiza menulis bahwa ada “hak sewa tahunan” yang di berikan oleh kolonial terhadap tanah ulayat kepada “niniak mamak nagari Kubang”. Tetapi hak sewa itu juga kadang dibayar dan kadang tidak. Tetapi saat “sekarang ini” apa yang terjadi dilapangan, setelah perusahaan tambang Ombilin milik Belanda itu menjadi milik PTBA, dan PTBA kemudian sudah masuk dalam  holding company raksasa bernama INALUM, dimana saham INALUM lebih dari 60%.  Sungguh, masyarakat adat nagari Kubang (Indigenous Peoples) justru semakin tidak dihargai, bahkan semakin dizolimi atas hak-hak azazinya di tanah ulayatnya di Sawahlunto. Kelicikan- kelicikan dan politik adu domba berlangsung seakan melebihi penjajahan kolonial dahulu. Tanah itu dipasang patok dengan bunyi “hak milik” oleh PTBA.
          Kemudian mengenai “hak sewa” tak pernah lagi dibayar pasca kolonial malahan perusahaan tambang itu yang memungut sewa ke masyarakat pendatang dan Pemda Sawahlunto saat ini. Baik sewa terhadap  tanah Ulayat yang masih kosong maupun terhadap bangunan-bangunan diatasnya. Niniak mamak nagari Kubang hanya diajak kerjasama pengelolaan aset, seperti sebagai debt colector (dilihat dari draft kerjasama yg mereka ajukan)di atas tanah yang sudah mereka patok sebagai hak milik. Untung niniak mamak hati-hati dan tidak terjebak lagi dalam permainan mereka. Sungguh suatu “kezoliman” terbaru melebihi kezoliman zaman kolonial dulu.
            Tampaknya semua fihak pemangku kepentingan di kota ini perlu belajar lebih arif dan bijaksana lagi dalam menyelesaikan konflik ini. Sudah terjadi “genosida” sejarah selama ini, demi memuaskan nafsu serakah pihak-pihak tertentu, yang bisa berakibat fatal terhadap kota yang kita cintai ini nantinya.
Wallu a’lam bisshawab

_____________________________________